Jumat, 16 Januari 2009 | 00:32 WIB
Wahyu Susilo
Hari-hari ini, hampir setiap hari Jakarta diguyur hujan. Warga dihinggapi rasa waswas. Bencana banjir mungkin tinggal menunggu waktu. Ini pula yang terus ditagihkan kepada Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, yang hampir dua tahun memimpin Ibu Kota.
Setiap kali banjir besar merendam Jakarta, hiruk-pikuk dan saling tuding mengemuka. Dan otoritas DKI selalu punya jawaban sekaligus kambing hitam: selama proyek Banjir Kanal Timur (BKT) belum selesai, masalah banjir di Jakarta tak pernah usai. Jawaban ini pula yang disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan dengan Gubernur DKI dan jajaran Dinas Pekerjaan Umum DKI pada 14 Januari 2009. Ini persis disampaikan hampir dua tahun lalu dalam Rapat Koordinasi Terbatas Penanggulangan Banjir Jakarta 9 Februari 2007.
BKT, solusi tunggal?
Proyek BKT selalu dianggap sebagai solusi tunggal untuk penyelesaian masalah banjir di Jakarta. Proyek ini diinspirasi dari rencana tata kelola banjir pada masa Batavia yang digagas Van Breen dan baru (akan) diwujudkan sekarang. Dengan topografi Jakarta yang telah berubah (terutama dengan pertumbuhan penduduk berlipat-lipat), rencana Van Breen tentu tak bisa ditelan mentah-mentah. Jika gagasan Van Breen ditelan mentah-mentah, akan terjadi penggusuran puluhan ribu warga Jakarta yang tinggal di jalur BKT.
Bagi otoritas DKI, proyek BKT kian urgen saat banjir besar pada Februari 2002 dan Februari 2007 merendam dan melumpuhkan Jakarta. Bahkan, dalam skema perencanaan tata ruang Jakarta, proyek pengendalian banjir merupakan salah satu fokus utama program Departemen PU dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak tahun 2000, di mana salah satu penyangga dana (pemberi utang) proyek ini adalah Jepang melalui skema pendanaan Japan Bank for International Cooperation (JBIC).
Secara resmi, proyek ini dicanangkan pada 10 Juli 2003 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan ditargetkan selesai dalam 10 tahun. Namun, hingga hampir separuh durasi waktu itu, proyek ini masih tertahan pada proses pembebasan lahan. Dipastikan proyek ini akan molor.
Sebagai proyek yang dibiayai dari utang, proyek BKT juga layak dipertanyakan pengelolaan pendanaan, efektivitas, dan keberlanjutannya. Dari sisi perencanaan, proyek ini jelas top down, tidak partisipatif. Agenda tersembunyi dalam proyek ini adalah penggusuran sistematik area kaum miskin kota yang tinggal di sepanjang lahan proyek BKT. Paradigma emoh orang miskin selalu menjadi isi kebijakan Pemprov DKI, misalnya Perda Nomor 11/1988 tentang Ketertiban Umum dan Operasi Yustisi yang menjadi landasan legal penggusuran orang miskin dari Jakarta.
Pilihan untuk mencari sumber pendanaan proyek dari JBIC tentu didasari pada watak pendonor yang tidak terlalu mempertimbangkan dimensi HAM dalam pelaksanaan proyek. Selama ini Jepang tidak pernah merepotkan Indonesia dalam hal persyaratan utang meski utang itu untuk proyek yang berpotensi mencemari lingkungan, memarjinalisasi masyarakat adat, dan meminggirkan perempuan. Atas pertimbangan ini, Jepang tetap diharapkan sebagai pengutang ”abadi” Indonesia pasca- CGI dibubarkan.
Sebaliknya, proyek-proyek yang dibiayai dari utang Jepang biasanya disertai perikatan-perikatan yang menguntungkan Jepang. Dalam terminologi ekonomi-politik disebut tied aid, artinya proyek harus menggunakan tenaga konsultan dan peralatan yang didatangkan dari Jepang, setidaknya berbagai perusahaan yang terkait kepentingan Jepang.
Masalah menghadang
Menurut data Bappenas dan Departemen PU, dana yang dibutuhkan untuk proyek BKT Rp 4,124 triliun. Dana itu untuk pengadaan lahan Rp 2,18 triliun dan pembangunan fisik Rp 1,938 triliun. Sebagian besar pendanaan berasal dari JBIC, sisanya dana pendamping dari anggaran Departemen PU dan Pemprov DKI. Buruknya perencanaan proyek BKT mengakibatkan banyak masalah. Yang tampak adalah berlarut-larutnya pembebasan lahan yang hingga kini belum tuntas. Masalah pembebasan lahan ini kembali ditegaskan Presiden Yudhoyono dalam rapat pada 9 Februari 2007 dan pertemuan dengan Gubernur DKI Jakarta pada 14 Januari 2009. Menurut Presiden, sedapat mungkin pembahasan lahan proyek BKT tidak merugikan rakyat.
Namun, menurut Urban Poor Consortium, proses pembebasan lahan proyek BKT sarat pelanggaran HAM dan menjadi isu internasional saat organisasi nonpemerintah internasional, Habitat International Coalition-Housing Land Rights Network dan World Organisation Against Torture, melaporkan kasus ini ke Komisi HAM PBB pada Desember 2003.
Proses pembebasan lahan rentan pelanggaran HAM dan korupsi besaran ganti rugi. Setidaknya, selama proyek BKT berlangsung (meski lambat), komplain masyarakat tentang besaran ganti rugi juga berlangsung. Ini mengindikasikan, proses pembebasan lahan berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi.
Meski proyek BKT lambat dan tak bisa diprediksi kapan selesai, Pemerintah Indonesia harus menjalankan kewajiban untuk membayar commitment fee dan mengalokasikan pembayaran bunga utang dan cicilan pokok utang proyek dalam APBN. Bahkan, kini warga Jakarta telah merasakan akibatnya dengan banjir lebih dahsyat dari banjir tahun 2002.
Dalam konsep debt management (pengelolaan utang), terbengkalainya proyek BKT merupakan contoh salah kelola utang yang jauh dari prinsip-prinsip debt sustainability dan aid effectiveness. Dan model salah kelola utang ini yang menjangkiti sebagian besar pelaksanaan proyek yang dibiayai dari utang. Dalam laporan yang ditulis Bappenas, daya serap dan pemanfaatan proyek yang dibiayai dari utang amat kecil. Sementara rakyat yang tak banyak menikmati proyek itu harus membayar mahal dengan terkurasnya APBN untuk membayar bunga utang dan cicilan pokok.
Wahyu Susilo Kepala Divisi Advokasi dan Networking International NGO Forum on Indonesian Development
Tidak ada komentar:
Posting Komentar